BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS »

Selasa, 20 Maret 2012

Aku Menunggu Pelukmu Ma..


Kriing-kriiiig’ jam weker Pigletku berdering. Masih sama seperti pagi sebelumnya. Inginku sekali tak kunjung membuka kedua mataku dan terbawa larut dalam sebuah istana mimpi. Tapi kenapa pagi ini udara yang semilir berhembus melalui jendela kamarku memaksaku untuk segera menyimpan mimpi itu, mimpi yang telah menemaniku tenggelam dalam isak tangis kesedihan dan mimpi yang menceritakanku tentang peluk hangat kasih seorang IBU. Tak sadar kedua mataku mulai terbuka. Kutatap langit – langit kamarku tersenyum padaku seolah dia ingin menyapa.

“Pagi dunia…!” Sapaku pagi ini.

Hening sejenak,

“(Tok..tok..tok)”

Suara ketukan terdengar dari balik pintu kamarku, hingga mematikan lamunanku yang beberapa detik lalu menghantui pikiranku. Setelah sadar, segera kubuka pintu kamarku.

“i…iya..” Jawabku dengan nada tersenggal.
“Mbak…tadi subuh ibu sudah berangkat keluar kota. Ibu bilang, uangnya tadi pagi sudah ditransfer.” Jelas Bi Narsih.

Tak sadar sudah menggenang air mata di pelupuk mataku. Otakku serasa berputar cepat sekali.

“Makasih bi!” Sahutku sembari menahan gejolak air mataku.

Yang aku butuhkan saat ini bukan materi, akan tetapi kasih sayang. Kata – kata itu selalu terngiang memutar dikepalaku. Keluargaku emang kaya akan materi, tapi tidak dalam kebersamaan. Sejak 5 tahun yang lalu, keluargaku terlihat kompak sekali. Mama selalu ada disampingku dan juga kedua kakakku, mendampingi kami, menjadi sahabat disaat kami memerlukan bahu untuk menyandarkan kepala. Dan papa, beliau meninggal karena serangan jantung. Hingga akhirnya mamalah sekarang yang berjuang menafkahiku. Tau kenapa? Kedua kakakku lebih memilih kehidupan diluar seorang diri. Mengurus urusannya masing-masing katanya. Berpikir, keluarga kami ga bakal bisa bersama lagi seperti dulu. Akan tetapi, mama jarang sekali singgah dirumah. Kesibukan dunia membuat mama lupa waktu akan keluarga, hingga komunikasi kita pun tak seperti dulu lagi. Aku masih bisa merasakan kasih sayang itu hanya dalam sebuah mimpi. Aku berada dipangkuan mama dengan alunan merdu melody yang disenandungkannya. Mama memakai gaun yang indah sekali, memainkan ayunan ditemani rerumputan hijau yang segar dengan sekawanan burung merpati putih. Senyum mama sangatlah hangat disitu. Mimpi itu selalu menghampiri dikala malam menjemput dan kusadari kini ku benar- benar merindukan sosok itu. Perlahan tanganku menyentuh sebuah album keluarga yang tergeletak disusunan rak meja belajarku. Kubuka lembar pertama, terlihat senyum yang sampai saat ini pun jarang atau mungkin bisa dibilang sirna sudah aku lihat difoto itu. Mengingat memori di album itu, ingin sekali kumeneteskan air mata. Untunglah hari ini sekolah libur, jadi rencanaku pergi ketoko buku untuk mencari bahan praktikum sekolah bisa berjalan sesuai harapanku. Beberapa menit kemudian aku teringat akan sesuatu, hingga aku mengurungkan niatku untuk pergi ke toko buku karna sekarang adalah jadwalku check-up ke rumah sakit untuk memeriksa perkembangan kesehatanku.

“Oops..aku kan juga ada jadwal ke rumah sakit.”

Segera kututup album keluarga itu dan melanjutkan mencari kartu kesehatanku. Setelah aku menyusuri semua ruangan, tapi kartu itu belum juga ditemukan.

“Mana sih?” Ujarku dalam hati.

Tap…tap…tap…derap langkahku menyusuri tangga menuju dapur.

“Bi…bibi lihat kartu kesehatan gak? Dara udah cari kemana – mana tapi gak ada!”
“Eh mbak…mmm…warna kuning bukan?” Sahut Bi Narsih.
“Kayaknya sih…bibi lihat? Dimana? Hari ini dara ada jadwal check-up.” Ujarku.
“Bibi bantuin cari ya mbak,” Kata bibi sambil membereskan perabotan dapurnya.

Dengan sibuknya Bi Narsih mondar – mandir sambil meletakkan jari telunjuknya di bingkai kacamatanya yang unik itu.

“Eits…!” Desah Bi Narsih mengagetkanku.

Spontan tubuhku terlonjak kaget hingga kepalaku sedikit terbentur ketembok.

“Ma…maaf mbak, kalau enggak salah dua hari yang lalu kartunya dibawa ibu deh…mungkin aja ada dikamar ibu mbak.”
“Emangnya mama sakit bi?” Tubuhku tampak berkeringat cemas.
“Bibi kurang tau mbak. Biasanya kalau ibu kurang enak badan, ibu Cuma minta tolong sama bibi buat beliin obat dipuskesmas depan dan itu pun biasanya sakitnya cuma flu ringan.” Jelas Bi Narsih.
“Tapi bi, dara sering liat mama bangun tengah malam. Nah disitu mama ngeluarin beberapa tablet kapsul dan dara pikir itu bukan macam obat biasa.” Sahutku panjang lebar kepada Bi Narsih.
“Ealah mbak, bibi teh mana ngerti soal begituan.”

Bi narsih ini orangnya emang polos banget. Beliaulah yang dari zaman aku masih anak ingusan sampe zaman jebot gini. Dari sebelum kedua kakak-kakakku lahir pula. Ga kebayangkan gimana berjasanya bibi dimata keluarga kami. He he . . .

“Aissh...maaf deh bi, ya udah dara mau ke kamar mama dulu ya!” Candaku kepada Bi Narsih.
Segera kupercepat langkahku melewati ruang keluarga menuju kamar mama. Dalam benak. Jadi kangen sama kamar itu. Dulu mama dan papa sering menceritakanku tentang “Kancil dan Kerbau” juga “Cinderella dan Sepatu kacanya” dikamarnya yang dulunya menjadi tempat favoritku untuk bercerita. Yah, tapi bukan untuk sekarang.

(Dikamar mama)

“(Kreeekk...)” Suara deritan pintu.

Ternyata pintunya tidak dikunci. Mungkin karna teburu-buru tadi. Segera kumemasuki kamar itu. ‘
Ting’ Seperti ada lampu yang tiba-tiba dihidupkan. Lebay. Aku tersenyum. Kedua mataku serontak menatap suatu benda. Aku terkesima ternyata mama masih menyimpan foto kita sekeluarga yang dihias dengan pigura putih berukir bunga edelwis yang cantik. Dan sangat terawat. Mama memang suka warna putih, itu bisa terlihat dari dekorasi kamar maupun benda-benda yang ada didalam kamarnya. Dari sprei, laci, lemari, hingga vas bunga yang juga didalamnya terdapat mawar putih. Dan kalau harus disebutin semua benda apa aja yg berwarna putih dikamar mama, hahh... capek. Ga ketulungan banyaknya. “Srett” kedua bola mataku kembali tertegun melihat foto itu. Beberapa detik kubiarkan lamunanku berlari-lari menghiasi pigura tersebut.

“Apa ini?” Pikirku dalam hati.

Ternyata dibalik pigura itu ada secarik tulisan dan menurutku itu tulisan..MAMA!
Mulai kubaca dan memahami isi dari tulisan itu.

                       
Kini tak lagi utuh. Hanya aku dan bidadari kecilku yang menemaniku.
Tapi apa kuasa bila memisahkanku dari sisinya. Jujur. Aku tak sanggup
menerimanya. Andaikan aku bisa melawan. Apa daya ku lakukan,
inilah kuasa-Mu Ya Allah. Aku hanya bisa pasrah menunggu saat itu datang.
Tapi bagaimana dengan bidadari kecilku?
Beberapa kalimat ditulisan itu sulit untuk aku pahami, tapi cukup membuatku terharu. Dan entah kenapa air mataku tiba-tiba menetes. “Sudahlah”. Kuletakkan kembali foto itu diatas laci meja. Pikiranku terfokus kepada kartu kesehatan itu lagi. Kucari di berbagai sudut ruangan kamar mama dan juga di berbagai banyak laci-laci kamarnya. Laci pertama kubuka “Sreet”, tidak ada disitu. Kutelusuri laci demi laci. Laci kedu pun hasilnya nihil. Didalamnya cuma ada berkas-berkas data kerja mama. Kubuka laci ketiga, tenyata agak sulit pikirku seperti ada sesuatu yang mengganjalnya. Kutarik paksa menggunakan kedua tanganku sekuat tenaga. Tapi..

“(Pyarrrr...)” Sesuatu terjatuh ketika aku mencoba membuka laci itu.
Benda itu jatuh tergeletak diatas lantai. Kuamati dengan seksama. Sepertinya benda itu sudah tak asing lagi bagiku. Perlahan kuraih benda itu.

“Inikan....” Pekikku pelan.
Tidak salah lagi. Dan itu benar-benar benda itu, disitu tertera tulisan OBAT BERDOSIS TINGGI DAN KERAS.
“Mama sakit?” Ujarku menatap benda itu.

Terkuras sudah semuanya dikepalaku. Awalnya aku tak memperdulikan benda itu karna aku melihat benda yang dari tadi aku cari. Kartu itu terbungkus dalam sebuah amplop coklat, tetapi sedikit terbuka dibagian atasnya sehingga hampir tak kasat oleh mataku. Diamplop itu terpampang jelas lambang dan nama RS. Bima Sakti pada bagian cover depannya. Itu rumah sakit yang khusus menangani penyakit dalam yang bisa dibilang sangat serius. Tubuhku terhempas goyah serasa disambar petir.

“Apa yang dilakukan mama disana?” Berkata dibenakku.

Ototku mulai tergulai lemas. Pandangan mataku mulai kabur. Aku berusaha untuk tidak terjatuh. Belum merasa puas. Dengan rasa penasaran yang dari tadi menjalar ditubuhku, kubuka isi amplop itu. Jelas sekali disitu tercantum nama pasien tersebut, yang tidak lain adalah nama mama sendiri. Kubaca dengan teliti isi amplop itu meskipun susah dimengerti karna itu menggunakan bahasa ilmu kedokteran yang untuk anak seumuranku sulit untuk memahaminya. Dengan bercampur kegelisahan, mataku menelusuri huruf-huruf itu satu per satu. Akhirnya aku menemukan bagian terpentingnya. Data-data tersebut menunjukkan bahwa mama mengidap Kanker Rahim stadium akhir. “Glekkk” urat-urat nadiku terhenti seketika. Tubuhku sudah tak sanggup menopangnya. Perlahan...kupejamkan kedua mataku. Kubiarkan tubuhku terhempas di ranjang mama.

. . .

Sinar mentari pagi ini membangunkanku. Masih dikamar mama. Ternyata bukan mimpi. Amplop itu masih digenggaman tanganku. Sekilasku menatap cermin. Mataku sembap. Wajahku pucat. Karena semalaman aku menangis. Terdiam. Beberapa menit kemudian, kurebahkan lagi tubuhku. Kepalaku bersemboyong tak mengerti. Aku berfikir lagi tentang apa yang terjadi semalam. Satu hal yang ingin aku katakan adalah Mama membohongiku.

Hati kecilku menjerit ngilu. Beribu-ribu pertanyaan melontar diotakku. Mengapa mama menutupi semua ini dariku? Mengapa mama membuatku layaknya sebongkah batu yang tak berguna? Mengapa aku dianggap tak ada disini? Mengapa...mengapa ini harus terjadi padaku?. Sunyi. Pikiranku terpecah oleh suara detak jam dinding mamaku. Kulihat sudah menunjukkan pukul 06.20 dan itu berarti kemungkinan besar aku bisa telat masuk sekolah. Segera kukeluar dari kamar mama, mengambil handuk dan langsung menuju kamar mandi. Pukul 06.40 aku baru keluar. Lekas ku berganti seragam. Memakai dasi kupu-kupu, beralaskan bedak dengan rambut kukucir kebelakang beserta bandana berwarna abu-abu. Tak lupa aku memakai jam werewolf kesayanganku.
Dibawah, BI Narsih sudah menyiapkan bekal sarapanku. Dan yang pastinya ini akan menjadi senjataku agar satpam sekolahku atau sebut aja Mang Ujang membebaskanku dari serangan ratu vampire dan yang tidak lain adalah kepala sekolahku yang galaknya minta ampun. Iiihhh....ngeri. Berlalu seperti angin menuju garasi mobil dan sepertinya Mang Didik (sopirku maksudnya) sudah siap untuk berceloteh ria kepadaku.

“Hehe...maaf mang kesiangan.” ucapku dengan muka yang asli watados menurutku. Mungkin juga menurut Mang Didik. Hehe.
“Ya elah neng...mang didik teh udah standby dari jam 06.00 tadi. Emang sekarang jam saberaha atuh?” Celoteh sangar ala Mang Didik.
“Ya maaf atuh mang. Sekarang jam 06.50. udah yuk mang, keburu ditutup nanti gerbangnya.” Ujarku tak kalah sangar.

Begini nih hiburan dirumah. Kalo ga ngusilin Mang Didik yaa berkutik didepan laptop. Ga ada yang spesial dirumah. Bengong. Melamun. Mungkin itu kerjaanku. Melas bangeet ga sih?

“Injeh ndoro ayu...” Sahut Mang Didik.

Dengan muka yang sangar sambil mengendarai mobil melaju lepas layaknya pembalap. Dengan rambut cepaknya dan kumis yang sangat subur melintasi rintangan yang suram mengalahkan segala hama yang mengganggu. Ceilee...emangnya petani.

“YEAH!” Seru kami berdua.

Belum sampai 10 menit mobil sudah sampai didepan gerbang sekolahku. Dan disitulah aku baru bisa bernafas lega. Fiuh. Tapi tampaknya murid-murid yang lain sudah mulai berlarian kecil menuju gerbang. Tapi tunggu dulu. Padahalkan belum terdengar bel tanda masuk berbunyi. Satpam pun belum bersiap siaga di depan gerbang.

“Ada apa sih?” Batinku.

Penasaran. Segera aku turun dari mobil.

“Dara masuk dulu ya mang. Ohya...nanti jangan lupa jemput dara jam 5 sore soalnya ada ekskul. Oke mang?” Sambil mengacungkan jempolku dan mengedipkan mataku.
“Siplah neng geulis. ON TIME. Mang didik cabut dulu ya neng!” ujar mang didik dengan logat sundanya yang kental abis.
. . .

Rasa penasaranku mulai menjadi. Kupercepat langkahku memasuki gerbang sekolah menuju segerombolan siswa-siswi berseragam almamater khas sekolahku. Lucu sekali. Imut menurutku. Hehe. Kakiku menjinjit. Kepalaku terus mendongak mencari celah diantara para siswi berseragam almamater itu yang dapat mengantarkanku menuju sesuatu yang menjadi pusat perhatian murid-murid saat itu. Terutama aku. 'Speacless' aku temukan sosok itu. Dan aku sangat terkejut sekali ternyata yang barusan membuatku mati penasaran, yang membuatku menyeringai seperti orang gila, jingkat-jingkat ga karuan dia adalah Gilang. Temanku ketika masih Taman Kanak-kanak. Tapi dia kali ini beda. Dibandingkan dulu, sekarang dia berubah drastis. Tubuhnya sekarang bidang. Lebih berbentuk. Tinggi. Wajahnya pun sangat mendukung. Kalo dulu yaa..dia itu termasuk salah satu murid paling gendut dan berisi disekolah. Menggemaskan. Tapi yang menjadi pertanyaanku sekarang, kenapa dia bisa ada disini? Aku terus mengelak dan tak mempercayai apa yang aku lihat barusan. Seingetku dia ada di Magelang. Keluarganya menetap disitu.

“Woy...awas kesambet!” Seru seseorang mengagetkanku.

Spontan aku menjatuhkan buku yang kupegang. Sekarang giliranku yang menjadi pusat perhatian. Oh god. Aku menepuk keningku. Kulihat disekeliling. Serasa dipanggung theater, semua mata tertuju padaku yang membuat saat ini kakiku terasa kram. Tapi tidak kram. Aneh. Sepasang telingaku menangkap cuap-cuap orang yang mungkin terganggu akan tingkahku yang kurasa akan membuat gendang telingaku pecah. Ngeri deh. Saat tanganku bersiap untuk memilah bukuku yang berserakan, aku kaget ketika ada seseorang yang mungkin ingin berusaha membantuku yang membuat punggung tangannya menyentuh punggung tanganku. Refleks mukaku mendongak keatas dan lebih histerisnya lagi (ce'ella histeris...kayak ketemu hantu aja) ternyata orang itu Gilang.
Menyelidik penuh arti. Lambat laun detak jantungku berdetak tak karuan. Semakin lama semakin cepat. Kok jadi gini? Tanyaku dalam hati.

“Ga usah! Makasih!” Ujarku ketus.

Bukuku yang tadinya berada ditangan cowok itu, seraya kurampas. Masa bodoh dia nganggep aku apa. Cewek yang ga tau makasih kek. Cewek yang sok alim gara-gara dia nolak dibantuin sama cowok yang lumayan cool sih...tapi bukan menurutku. Atau apalah sejenisnya.

“Oke....” Ucap cowok itu datar sambil mengangkat telapak tangannya.

Ini cowok bukannya ngebelain diri malah pasrah gitu aja. Cemen ah. Ga seru. Dia juga kayaknya lupa deh sama aku. Atau emang sengaja ga inget. Buktinya, dia ga negur aku. Minimal sok kenal deh. Dara ya?. Masih inget aku ga?. De-el-el.

“Ya udah pergi sana! Ngapain masih disini?” ujarku.
Si cowok itu pun ngeloyor pergi entah kemana. Innocent banget ga sih.
“Kalian juga ngapain ngeliatin gua. Kelilipan baru tau rasa. Bubar sana!” Celetukku pada murid-murid berseragam almamater itu.

Dan lagi-lagi langsung saja terlontar beribu jawaban dari mereka. Apaan sih. Pede banget. Siapa juga yang ngeliatin situ?. Seperti suara tangisan segerombolan bayi burung yang baru lahir. Berisik.

“Ra!” Seorang cewek berambut ikal melambaikan tangan dan kemudian menghampiriku.
“Hey.....!” Dengan nada jutek dan wajah kisutku.

Cewek berambut ikal itu namanya Ipi alias Vivi. Dia temen dekatku disekolah. Apalagi kita udah 6 tahun sekolah disekolah yang sama. Sebangku pula. Dia tau semua sejarah keluargaku. Ipi udah kuanggap saudaraku sendiri. Aku sering cerita apapun ke dia, meskipun beberapa kali aku kecolongan. Dia ketiduran waktu aku lagi semangat-semangatnya cerita panjang lebar. Asli nyebelin banget tuh bocah.

“Sorry....gua ga ada maksud ngagetin lu tadi. Lu kayak anak ilang sih. Gua panggil tapi ga nyaut-nyaut!” Jelas Ipi panjang lebar.
“Helloooo....bantuin berdiri dulu kek. Ceramahnya entar. Lu mau gua jadi suster ngesot gini?” Bantahku datar.

Bengong. Selalu begitu. Dulu ibu nya ngidam apa ya? Tulalit bener. Itulah yang biasa dilakuin Ipi ketika aku sedang berceloteh ria. Tapi Ipi tidak terlalu menganggapnya serius. Dia sudah tau gelagatku. Sadar dari lamunanku.

“Aduh…tinggal berdiri aja kok repot! Sini!” Ujarnya sambil meraih tanganku dan membantuku berdiri.
“Yee….lu kira ni ubin dibuat dari kapuk apa? Sakit tau!” Sahutku tak mau kalah dari Ipi.

Saling menyangkal. Lebih tepatnya saling membela diri. Berbanding 180 lah ketika lagi kompak-kompaknya. Sampe-sampe orang bilang kita itu si jolie. Tapi kalo udah berantem. Bukan adu fisik loh. Ini berantem ala cewek. Kita itu layaknya kucing dan tikus. Parah ga sih? Tinggal nunggu salah satu dari kita yang nyerah baru bisa berhenti adu mulutnya. Nyerahnya kita itu gara-gara capek. Paling-paling entar nyerocos lagi.

“(Bla…bla….bla….)!” Perdebatan kami pun belum usai hingga masuk ruang kelas.

                                                                                    . . .

“Sudah jelas semuanya? Ada yang mau ditanyakan?” Ujar Pak Contreng.

(Diam seribu bahasa)

“ Kalau tidak ada, sekarang kalian berkumpul dengan kelompok praktikum kalian masing-masing.” Sambung beliau selaku guru kimiaku.

Dari sekian banyak guru yang ada disekolahku, Pak Contreng termasuk tokoh guru idola para siswa-siswi disini. Didukung dengan style nya yang unyu-unyu gitu deh. Apalagi, apa-apa yang disampaikannya ketika pelajaran ibaratnya langsung nyangkut ke otak.

“Bapak…” Seru seorang siswi lain yang berada di pojok bangku belakang sambil mengacungkan tangan.
“Iya, ada apa?” Jawab Pak Contreng.
“Egi, Jen sama Agil kan ga masuk? Masa saya cuma berdua pak?” Sambung siswi itu antusias.

(Suasana kelas mulai ricuh)

“Ya sudah…sudah, buat sementara ini…” Ucap Pak Contreng sambil tatapannya menyapu barisan siswa-siswi dikelas.
“Kamu Dara, sementara ini kamu bergabung dengan kelompoknya Stella. Gimana?” Sambung beliau lagi.
Termenung. Menyandarkan kepalaku disanggahan telapak tangan kiriku. Ruangan ini seperti tak berpenghuni. Memikirkan tentang beberapa insiden yang terjadi belakangan ini. Mama sakit. Juga soal Gilang yang tiba-tiba hadir dalam hidupku. Tanganku mulai mengukir indah. Melukiskan suasana hatiku saat ini dalam secarik kertas.

Merengkuh sepotong angan
Dan apa guna itu semakin mencekam
Petuah demi petuah kurekam
Dalam memori nan penuh penatan
Kusadar…
Lagi dan lagi jatuh bangun kudapat
Merengkuh sebilah ranting penguat
Dan lagi lagi itu Percuma

Apa yang sebenarnya terjadi? Galau yang aku rasakan saat ini. Semua ini membuatku diam seribu bahasa.
“Anandara Safira….” Tegas Pak Centrong.

Masih terdiam. Tiba-tiba aku merasa seperti ada semut yang menggigit. Ipi yang ada disampingku mencubit lenganku.

“Auuuu….sakit!” Pekikku memenuhi ruang kelas.
“Pssst…ra!” Bisik Ipi tepat di telingaku, “Eh lu dari tadi ngelamun mulu. Kesambet baru tau rasa. Dipanggil tuh sama Pak Contreng.” Lanjut Ipi.
“I-ii-i-iyaa…ah iya pak! Saya?” Tanyaku dengan raut wajah polos.
Sumpah! Deg-deg serr nih. Kumis Pak Contreng serasa melambai-lambai.
“Salah lagi…salah lagi.” Batinku.

Berharap ada malaikat trus bisikin Pak Contreng. ‘Sabar’. ‘Dia masih anak-anak, kesian tuh!’. Yahh…tapi alhasil beliau malah menghampiriku. Mampus deh.

“Kamu ga enak badan?” Tanya Pak Contreng.

Hah? Ga enak badan???

“Em-emm…i-iya nih pak, kepala saya pusing banget. Badan lemes.” Jawabku enteng.

Ini belum ada dalam skenario. Hehe…dari pada harus disuruh ngadep kedisiplinan. Sama aja bunuh diri mah namanya. 
 
“Kenapa tidak izin dari tadi sama bapak? Ya sudaaah…biar vivi yang mengantarkan kamu ke UKS.”
“Vivi……” Isyarat Pak Contreng kepada Ipi.

Tuh kan. Ini guru emang kelewatan baiknya. Gimana muridnya pada ga kelepek-kelepek coba. Kita aja biasanya disuruh tidur kalo pas beliau ngajar kitanya malah terkantuk-kantuk plus ga merhatiin. Mending sekalian aja. Prinsipnya. Ya…kita sebagai muridnya syukur Alhamdulillah ya. Sekarang coba kita liat apa yang dilakukan Ipi. Raut mukanya yang tadinya berwarna kuning langsat jadi pucat pasi. Kok jadi dia ya yang gelagapan? Haha. Tapi kasian juga sih.

“Si-siap pak!” Ucap Ipi dengan logat ala militernya.

Beranjak dari tempat duduk. Ipi membantuku berdiri. Biar dikira beneran. Hihi. Pinter juga tuh anak. ga sia-sia juga 2 bulan yang lalu ikutan casting meskipun GATOT (Gagal Total). Akhirnya kami pun segera keluar dari ruangan.

“Auuu . . .” lagatku.

Kita pun berjalan melewati koridor yang panjaaaang sekali. Diskusi bareng alias ngakak tiada henti. Anak sekolah zaman sekarang emang patut diacungi jempol. Tapi jangan ditiru ya aksi kita ini. Ck. 
 
“Psst . . . liat tuh!” Bisik Ipi
“Itu loh . . . jarum jam 12.”
“Hah? Gua ga bawa jam.” Jawabku.
“Aduh . . liat depen lu o on.” Celoteh Ipi.

Kepalaku dijitak. Sakit. Nyut-nyutan. Emang apaan sih? Ipi tuh demen banget nyiksa orang. Ini namanya kekerasan fisik. Menganiaya anak orang. Pasal berapa ya? Ahh whatever. Aku pun menoleh ke arah yang dimaksud Ipi. Oh god. Kelabakan, aku pun salting sendiri. ‘Gilang’. Kenapa sih harus sekarang. Gua belum siap. Sekali lagi Gua belum siap ketemu dia. Dia udah ada didepan mata. Aku harus gimana? Pura-pura ga ngeliat atau sok kenal. Pilihan pertama aja deh, siapa tau nanti dia yang nyapa duluan. Ahihi . .

“Ganteng bener ya tu orang, mirip artis siapa ya? Emm Dimas...Dimas Anggara kali ya? Hehe” Sambung Ipi.
“Hush..ngawur bener lu, noh..lu tau kagak mas-mas penjual batagor depan sekolah? Itu baru mirip.”
“Curiga gua sama lu!”
“Curiga? Maksud lu?”
“Ya elu..tumben-tumbenan selera lu ka sama kayak gua?”
“Emang harus ya? Gua kan suka yang rada berkelas gitu deh..kalo itu mah ecek-ecekan.” Sahutku acuh tak acuh.
“Yes! Beneran lu kaga mau? Buat gua?”
Jawabku hanya dengan Senyum tapi terpaksa.

-to be continued-